Sunday 23 March 2014

Jum'at Bersama Syafii Antonio



Jum’at, 3 Desember 2013
Hari ini ketika makan di warteg, ada uang kembalian yang sudah tak layak pakai untuk diterima. Timbul hasrat untuk mengembalikan uang itu, namun ada perasaan tidak enak. Yah walaupun secara pribadi merasa dirugikan, tapi yang  namanya dagang juga ajarang ada yang mau rugi. Dengan tangan terbuka uang itupun aku terima dengan lapang dada ca ileh. Heheh tapi dalam benak muncul wacana untuk memusnahkan uang itu agar tidak ada lagi dalam peredaran. Sepulang dari makan tersebut, aku langsung menyalakan kompor, lalu ku letakkan uang tu ditengah nyala api kompor. “tentu akan ada rasa penolakan jika ada orang lain yang menerima kembali peredaran uang tersebut”. walaupun apa yang kulakukan ini, bukan tugasku. Konon kabarnya, setiap hari Bank Indonesia sebagai pusat uang yang beredar di Indonesia, menghacurkan puluhan juta uang yang sudah tidak layak pakai lagi. Dengan kata lain, aku sekarang sedang memainkan peran Bank Indonesia. Hehe ya pengalaman ringan sebagai pengantar tulisan hari ini.




Tadi ketika jum’atan, saya sholat di masjid kampus. Kebetulan yang menjadi Khotib hari ini adalah pak syafi’i antonio. Dari khotbah yang disampaikan beliau tadi, banyak hal yang langsung mengena, karena berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan rasionalisasinya begitu masuk akal sehingga tak ada alasan bagi yang mendengarkan untuk menolak.

Salah satu alasan mengapa kita harus membudayakan istilah-istilah dalam islam. Karena dalam kehidupan ini ada yang dikenal dengan penjajahan identitas. Penjajahan itu bisa dimaknai dengan ketidak bebasam kita dalam memakai budaya, adat istiadat beserta atribut identitas kita. Jika merujuk pad pengertian yang demikian, tentu kita sekarang sedang berada di posisi terjajah. Dimana kita secara tak sadar telah dibuat lupa terhadap budaya local kita. Lalu dengan bangganya kita malah melestarikan budaya-budaya orang lain. Secara kebudayaan kita telah terjajah. Hal ini bisa dilihat dari budaya ‘perayaan malam tahun baruan’, istilah-istilah dalam bulan dan sejenisnya. Contoh lainnya bisa merujuk pada penamaan hari-hari. Lazimnya kita mengenal ahad sebagai akhir pecan padahal jika merujuk pada makna yang sesungguhnya, arti ahad adalah pertama dengan kata lain hari minggu adalah awal pecan bagi mereka yang mengerti.

Lihat betapa bangganya kita dengan perayaan tahun baru, padahal berbanding terbalik dengan yang seharusnya kita lakukan dalam menyambutnya. Hakikat terbesar dari pertambahan waktu adalah umur yang berkurang, ajal yang semakin mendekat, kematian yang hampir tiba, kesempatan untuk beramal di hari kemarin telah hilang, dan sejanisnya. Tapi kok, kita malah merayakannya dengan perayaan-perayaan jahiliah yang hanya menitik beratkan pada kesenangan semata. Kenapa tidak kita gunakan tafakur, muhasabah, merenung dan mengejar ketertinggalan kita dengan saudara-saudara kita yang non muslim.

Harusnya momen-momen yang mengingatkan kita tentang pertambahan waktu akan membuat kesadaran akan ketertinggalan kita. Sehingga kita termotivasi untuk melakukan percepatan. Baik di tataran individu, keluarga, masyarakat, organisasi dan Negara. Coba kita perhatikan perkembangan saudara-saudara yang non muslim, mereka jauh lebih cepat dalam penguasaan bidang teknologi. Kualitas kita jauh tertinggal. Baik dari segi politik, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Coba kita perhatikan lagi, siapa pemilik mall-mall yang berada di pekotaan? Siapa pemilik perkebunan-perkebunan begitu luas yang ada di pedesaan?. Siapa pemilik produksi kendaraan?. Hampir semuanya mereka yang non muslim. Lalu kemana 1,4 milyar penduduk muslim dunia? Terkadang kita juga sering mendegar ada sebuah instansi yang semua pengurusnyanya orang muslim. Cuma satu yang bukan, yang punya instansi tersebut. begitulah kebanyakan realita yang bercerita.

Jika zaman dahulu rombongan Hatta dan kawan-kawan ingin masuk parpol karena niat tulus membangun Negara. Akan bedanya ceritanya jika kita cocokkan dengan apa yang terjadi zaman sekarang. Dimana kebanyakan dari kita yang ingin masuk parpol tak lain karena ingin mencari penghidupan. Parpol dijadikan ladang untuk mencari harta. Bahkan di lain waktu mereka juga sering menjadikan jeritan masyarakat sebagai jualan. Ketika pemilihan, suara rakyat dibeli. Ketika terpilih hak rakyat dijadikan ganti rugi untuk akumulasi capital kepentingan pribadi.

Salah satu nikmat yang paling berharga adalah nikmat waktu. Sifat dari waktu, ia tidak pernah berhenti. Apapun yang kita lakukan, entah produktifkah, kontraprodukftifkah? Waktu tidak akan pernah mentolerir dan memberikan kita saving waktu. Selanjutny awktu juga tidak bisa dikembalikan seperti semula. Setiap detik yang kita lalui adalah momen momen yang berbeda dengan momen yang lainnya. Malam yang kita rasakan saat ini, tidak akan pernah kita rasakan lagi kedepannya. Suasana malam memang bisa kita rasakan, tapi tidak dengan waktu. Jum’at sekarang akan berbeda dengan jum’at yang akan datang. Karena kesempatan yang diberikan hari ini belum tentu diberikan dimasa yang akan datang. Masih abai dengan waktumu? Waktu juga tidak bisa dijual. Begitu banyak orang di dunia ini yang kekurangan waktu karena kesibukan mereka. Tapi hal ini bukan berarti ini mereka bisa meminjam atau membeli waktu orang lain yang tidak punya kesibukan sama sekali. Sekalipun orang tersebut punya harta yang melimpah. Siapapun dia. Presiden kah. Bupati kah? Karyawan kah? Mereka punya jatah waktu yang sama, yakni 24 jam. Yang penting bagaimana cara kita memaknainya.

Dalam Al-Qur’an ada surat yang membicarakan tentang ilmu. “demi Masa…Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali bagi mereka yang beriman dan beramal Sholeh”. Berbicara tentang amal Sholeh tentu tida identik dengan sholat saja, zakat saja, atau puasa saja. Tapi amal sholeh adalah semua aktifitas produktif dalam setiap bidang yang kita lakukan. Belajar, mendalami Al-Qur’an, mendalami hukum, ilmu kedokteran, bahasa inggris dan lain sebagainya. Seringkali kita menemui kesulitan dalam menggapi itu semua. Ketika berhadapan dengan suasana itu maka kita harus bersabar.
 
Kebanyakan dari kita, salah dalam menafsirkan ‘amal sholeh’. Dalam benak kita amal sholeh itu identik dengan ibadah di masjid. Sholeh itu seakan akan hanya identik dengan spiritual semata. Kita lupa dengan ranah kesholehan social dan intelektual. Maka tak heran jika yang memegang kendali di dunia ini banyak dari kalangan mereka. Amal sholeh itu ialah setiap aktifitas produktif yang bisa membantu orang lain. Dalam kehidupan ini kita harus sering sering menggunakan skala prioritas. Mana yang lebih penting dan tidak penting. Mana kebutuhan yang mendesak dan tidak mendesak. Insyaallah kita akan dengan sendirinya mengarah pada kegiatan-kegiatan yang produktif. 

Zaman sekarang kita tidak butuh orang yang hanya turun angan lebih dari itu, kita butuh pribadi-pribadi yang suka turun tangan. Suka berdiskusi segala hal lalu turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. #salamproduktif

0 komentar:

Post a Comment