Jum’at, 3 Desember 2013
Hari ini ketika makan di warteg, ada uang kembalian yang sudah tak
layak pakai untuk diterima. Timbul hasrat untuk mengembalikan uang itu, namun
ada perasaan tidak enak. Yah walaupun secara pribadi merasa dirugikan, tapi yang namanya dagang juga ajarang ada yang mau
rugi. Dengan tangan terbuka uang itupun aku terima dengan lapang dada ca ileh.
Heheh tapi dalam benak muncul wacana untuk memusnahkan uang itu agar tidak ada
lagi dalam peredaran. Sepulang dari makan tersebut, aku langsung menyalakan
kompor, lalu ku letakkan uang tu ditengah nyala api kompor. “tentu akan ada
rasa penolakan jika ada orang lain yang menerima kembali peredaran uang
tersebut”. walaupun apa yang kulakukan ini, bukan tugasku. Konon kabarnya,
setiap hari Bank Indonesia sebagai pusat uang yang beredar di Indonesia,
menghacurkan puluhan juta uang yang sudah tidak layak pakai lagi. Dengan kata
lain, aku sekarang sedang memainkan peran Bank Indonesia. Hehe ya pengalaman
ringan sebagai pengantar tulisan hari ini.
Tadi ketika jum’atan, saya sholat di masjid kampus. Kebetulan yang
menjadi Khotib hari ini adalah pak syafi’i antonio. Dari khotbah yang disampaikan
beliau tadi, banyak hal yang langsung mengena, karena berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari dan rasionalisasinya begitu masuk akal sehingga tak ada
alasan bagi yang mendengarkan untuk menolak.
Salah satu alasan mengapa kita harus membudayakan istilah-istilah
dalam islam. Karena dalam kehidupan ini ada yang dikenal dengan penjajahan
identitas. Penjajahan itu bisa dimaknai dengan ketidak bebasam kita dalam
memakai budaya, adat istiadat beserta atribut identitas kita. Jika merujuk pad
pengertian yang demikian, tentu kita sekarang sedang berada di posisi terjajah.
Dimana kita secara tak sadar telah dibuat lupa terhadap budaya local kita. Lalu
dengan bangganya kita malah melestarikan budaya-budaya orang lain. Secara
kebudayaan kita telah terjajah. Hal ini bisa dilihat dari budaya ‘perayaan
malam tahun baruan’, istilah-istilah dalam bulan dan sejenisnya. Contoh lainnya
bisa merujuk pada penamaan hari-hari. Lazimnya kita mengenal ahad sebagai akhir
pecan padahal jika merujuk pada makna yang sesungguhnya, arti ahad adalah
pertama dengan kata lain hari minggu adalah awal pecan bagi mereka yang
mengerti.
Lihat betapa bangganya kita dengan perayaan tahun baru, padahal
berbanding terbalik dengan yang seharusnya kita lakukan dalam menyambutnya.
Hakikat terbesar dari pertambahan waktu adalah umur yang berkurang, ajal yang
semakin mendekat, kematian yang hampir tiba, kesempatan untuk beramal di hari
kemarin telah hilang, dan sejanisnya. Tapi kok, kita malah merayakannya dengan
perayaan-perayaan jahiliah yang hanya menitik beratkan pada kesenangan semata.
Kenapa tidak kita gunakan tafakur, muhasabah, merenung dan mengejar
ketertinggalan kita dengan saudara-saudara kita yang non muslim.
Harusnya momen-momen yang mengingatkan kita tentang pertambahan
waktu akan membuat kesadaran akan ketertinggalan kita. Sehingga kita
termotivasi untuk melakukan percepatan. Baik di tataran individu, keluarga,
masyarakat, organisasi dan Negara. Coba kita perhatikan perkembangan
saudara-saudara yang non muslim, mereka jauh lebih cepat dalam penguasaan
bidang teknologi. Kualitas kita jauh tertinggal. Baik dari segi politik,
pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Coba kita perhatikan lagi, siapa pemilik
mall-mall yang berada di pekotaan? Siapa pemilik perkebunan-perkebunan begitu
luas yang ada di pedesaan?. Siapa pemilik produksi kendaraan?. Hampir semuanya mereka
yang non muslim. Lalu kemana 1,4 milyar penduduk muslim dunia? Terkadang kita
juga sering mendegar ada sebuah instansi yang semua pengurusnyanya orang
muslim. Cuma satu yang bukan, yang punya instansi tersebut. begitulah
kebanyakan realita yang bercerita.
Jika zaman dahulu rombongan Hatta dan kawan-kawan ingin masuk
parpol karena niat tulus membangun Negara. Akan bedanya ceritanya jika kita
cocokkan dengan apa yang terjadi zaman sekarang. Dimana kebanyakan dari kita
yang ingin masuk parpol tak lain karena ingin mencari penghidupan. Parpol
dijadikan ladang untuk mencari harta. Bahkan di lain waktu mereka juga sering
menjadikan jeritan masyarakat sebagai jualan. Ketika pemilihan, suara rakyat
dibeli. Ketika terpilih hak rakyat dijadikan ganti rugi untuk akumulasi capital
kepentingan pribadi.
Salah satu nikmat yang paling berharga adalah nikmat waktu. Sifat
dari waktu, ia tidak pernah berhenti. Apapun yang kita lakukan, entah
produktifkah, kontraprodukftifkah? Waktu tidak akan pernah mentolerir dan
memberikan kita saving waktu. Selanjutny awktu juga tidak bisa dikembalikan
seperti semula. Setiap detik yang kita lalui adalah momen momen yang berbeda
dengan momen yang lainnya. Malam yang kita rasakan saat ini, tidak akan pernah
kita rasakan lagi kedepannya. Suasana malam memang bisa kita rasakan, tapi
tidak dengan waktu. Jum’at sekarang akan berbeda dengan jum’at yang akan
datang. Karena kesempatan yang diberikan hari ini belum tentu diberikan dimasa
yang akan datang. Masih abai dengan waktumu? Waktu juga tidak bisa dijual.
Begitu banyak orang di dunia ini yang kekurangan waktu karena kesibukan mereka.
Tapi hal ini bukan berarti ini mereka bisa meminjam atau membeli waktu orang
lain yang tidak punya kesibukan sama sekali. Sekalipun orang tersebut punya
harta yang melimpah. Siapapun dia. Presiden kah. Bupati kah? Karyawan kah?
Mereka punya jatah waktu yang sama, yakni 24 jam. Yang penting bagaimana cara
kita memaknainya.
Dalam Al-Qur’an ada surat yang membicarakan tentang ilmu. “demi
Masa…Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali bagi mereka yang beriman
dan beramal Sholeh”. Berbicara tentang amal Sholeh tentu tida identik dengan
sholat saja, zakat saja, atau puasa saja. Tapi amal sholeh adalah semua
aktifitas produktif dalam setiap bidang yang kita lakukan. Belajar, mendalami
Al-Qur’an, mendalami hukum, ilmu kedokteran, bahasa inggris dan lain
sebagainya. Seringkali kita menemui kesulitan dalam menggapi itu semua. Ketika
berhadapan dengan suasana itu maka kita harus bersabar.
Kebanyakan dari kita, salah dalam menafsirkan ‘amal sholeh’. Dalam
benak kita amal sholeh itu identik dengan ibadah di masjid. Sholeh itu seakan
akan hanya identik dengan spiritual semata. Kita lupa dengan ranah kesholehan
social dan intelektual. Maka tak heran jika yang memegang kendali di dunia ini
banyak dari kalangan mereka. Amal sholeh itu ialah setiap aktifitas produktif
yang bisa membantu orang lain. Dalam kehidupan ini kita harus sering sering
menggunakan skala prioritas. Mana yang lebih penting dan tidak penting. Mana
kebutuhan yang mendesak dan tidak mendesak. Insyaallah kita akan dengan
sendirinya mengarah pada kegiatan-kegiatan yang produktif.
Zaman sekarang kita tidak butuh orang yang hanya turun angan lebih
dari itu, kita butuh pribadi-pribadi yang suka turun tangan. Suka berdiskusi segala
hal lalu turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. #salamproduktif
0 komentar:
Post a Comment