Tertarik tentang berita kedatangan tamu dari Dubai, hari Jum’at
mendatang, aku melirik sebuah papan jadwal majelis
yang tergantung dengan elegannya di ruangan utama kantor Baitut Tamkin Tazkia Madani (BTTM). Terbersit
dalam diriku untuk mengambil peran dalam penataan ruang guna mempercantik
estetika visual dalam penyambutan tersebut. selanjutnya, tergeraklah diriku
untuk memperbarui tulisan dalam jadwal tersebut dengan seni huruf indah yang
telah kupelajari. Tanpa banyak pikir langung saja kusampaikan ke
Usep, rekan magangku, bahwa hari ini aku tidak bisa ikut majelis. Karena ada
hal yang harus kukerjakan di kantor sembari menunjuk papan jadwal pembinaan majelis[1].
“Aku akan memperbaharui tulisan pada jadwal itu sep”, ujarku.
“siplah kalo begitu”, balas Usep dengan gaya tengilnya.
Akan kucoba untuk mengulas makna dari pengambilan keputusan yang terlihat sepele tersebut. Ada yang mengatakan, indikator dari kemerdekaan seseorang itu bisa
dilihat dari kemampuan dia dalam mengambil keputusan yang berkaitan langsung
dengan dirinya. Ketika apa yang diperbuat merupakan hasil dari pemikiran dia
tanpa tekungkung hegemoni siapapun. Maka saat itu ia masih memiliki
kemerdekaan. Sungguh banyak mereka yang terpenjara dalam kebebasan ilusi. Bebas
secara kasat mata, namun tidak secara de facto . Terpenjara oleh
rasa takut, terpenjara oleh jabatan, terpenjara oleh atasan dan masih banyak
penjara-penjara serupa yang sering membatasi kemerdekaan untuk berbuat. Dan untuk memaknai kalimat itu, aku memberanikan
diri untuk mengganti jadwal tersebut dengan keyakinan akan terciptanya jadwal
baru yang bagus dan lebih rapi. Sehingga ada nilai tambah yang kuhasilkan
sekalipun aku tidak turut serta dalam pembinaan seperti di hari-hari biasanya.
Walhasil kegiatan magangku hari ini, yakni bercumbu mesra dengan
papan jadwal beserta sepidol di tangan kanan dan penghapus di tanga kiri.
Saat-saat dimana talenta masa lalu berupa keahlian dalam menulis huruf dengan
goresan font Jerman, kudatangkan kembali. Sebuah kalimat bijak mengatakan, kerja
dengan sesuatu yang kita sukai akan mendatangkan kepuasaan tersendiri yang
terkadang tidak mampu dijangkau oleh rasional dan nalar logika. Hal itulah,
persinya yang kurasakan hari ini. Walaupun hak pribadi seringkali tergadaikan,
akan tetapi rasa puas akan tetap berada diatasnya.
Sejujurnya, alasan lain kenapa aku lebih memilih aktifitas diatas,
karena hari ini aku sedang didera perasaan malas. Hahaha (Akhirnya ngaku). Dan
aktifitas tersebut sebagai modus dan sarana pengalihan isu. Ala kulli hal,
apa yang kulakukan hari ini, insya Allah dikategorikan sebagai hal produktif.
Berbicara mengenai produktif, aku ingin kembali mengulang perkataan Dr. Syafii
Antonio, “Selama ini seringkali kita kurang tepat dalam mengartikan ‘amal
sholeh’. Selalu sholat, masjid, zakat dan sejenisnya yang muncul di benak kita
ketika diminta untuk mendeskripsikan tentang amal sholeh. Padahal lebih luas
dari itu, amal sholeh adalah seluruh kegiatan produktif yang kita lakukan dan
mendatangkan nilai manfaat bagi sekitarnya”. Artinya, ketika kita membaca buku
untuk memperluas pengetahuan, itu disebut juga amal sholeh. Ketika kita menulis
dan berbagi kisah tentang hikmah, itupun merupakan amal sholeh. Intinya,
seluruh aktifitas kita yang mendatangkan manfaat adalah amal sholeh. Maka
menjadi cocok jika di dalam Islam, kita sering mendengar kalimat “sebaik-baik
manusia adalah yang mendatangkan manfaat untuk orang lain.”
Satu hal yang ingin kusampaikan sebagai penutup tulisanku malam
ini, tindakan akan lebih bermakna ketika diambil secara sadar serta lahir dari keputusan
pribadi tanpa tekanan dari siapapun. Berani mengambil keputusan secara sadar tanpa hegemoni seorangpun untuk memaknai kemerdekaan pribadi seutuhnya.
0 komentar:
Post a Comment