Sunday, 22 December 2019

Bahas Lobster di Savana Camp

Foto bersama usai acara
Saat matahari tengah berjalan menuju singgasanannya, kupacu motorku menuju Savana Camp, sebuah kedai kopi yang terletak di Jl. Semeru Kota Bogor. Ada diskusi lobster. Pelaksananya Forum Yasmin 32. Aku sendiri bertugas sebagai pembawa acara, kompetensi yang sebetulnya tak kukuasai penuh.

Sekalipun pembahasannya terdengar asing, aku sangat menikmati diskusinya. Narasumbernya paten-petan. Kredibel dan punya kapasitas untuk membicarakannya. Bertambah lagi alat bacaku dalam mengeja realitas ke-Indonesiaan.

Jujur, saat mendengar kata lobster, yang ada di benakku adalah udang. Kupikir keduanya satu jenis. Hanya beda nama saja. Ternyata tidak. Bentuknya memang serupa, hanya pada lobster, terdapat dua capit seperti kepiting.

Pengetahuan sederhana tersebut, terang saja memaksaku merevisi kembali kepandiranku sebagai manusia. Satu lagi, ternyata aku belum pernah makan lobster. Setelah mendengar ulasan narasumber, jenis lobster mutiara dibandrol dengan harga Rp. 900.000/kg. Alamak, harganya tak cocok untuk kelas sudra. Ampun!

Sebagai orang Ogan Ilir, lobster memang jenis makanan yang tidak akrab di telinga. Struktur alam yang dominan lumpur, bukan habitat yang bersahabat baginya. Walaupun ada juga jenis air tawar, tapi kebanyakan lobster hidup di laut.

Selayaknya perjalanan karir seorang aktor, lobster adalah artis stunt man yang akhirnya menjadi primadona. Dulu, abad 17 di Amerika, lobster tak lebih dari makanan sampah. Sampai-sampai seorang gubernur di negara bagian didemo oleh pekerja karena diberi makan lobster. Ia dianggap sebagai perusak selera makan. Bahkan dijadikan makanan untuk narapida.

Tapi tidak sekarang. Keberadaannya mengaminkan sebuah idiom bahwa roda kehidupan terus berputar. Ia telah menjelma jadi makanan mewah dan berkelas.

Omong-omong tentang diskusi kemarin, terkait sengkarut pembukaan keran eskpor benih lobster, memang membingungkan. Tindakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo banyak menuai kecaman dari netizen. Apalagi sikap yang diambilnya bertentangan dengan Susi Pudjiastuti, menteri yang berhasil menarik simpati publik.

Hampir tak ada satupun dukungan untuk Edhy. Namun tak sedikitpun membuatnya bergeming. Tapi itulah politik, apalagi sekelas negara. Ia serupa panggung besar dengan banyak pemeran. Ada banyak kejadian di belakang layar yang tak mampu dijangkau publik.

Uang, jabatan, kekerabatan dan kepentingan saling berkelindan tumpang tindih. Kerapkali mengatasnamakan kesejahteraan rakyat, padahal menyentuhpun tidak. Argumen pembenaran bisa disusun sedemikian rupa tergantung sikap politik yang diambil. Ada banyak pihak yang bisa diajak kerjasama asalkan segaris dalam kepentingan.

Aku terdiam, saat salah satu narasumber menjelaskan, perihal pemburu rente dalam kasus benih lobster. Orang-orang yang mengkapitalisasi jaringan demi mendulang rupiah.

Keberadaan mereka seperti sebuah keniscayaan dalam setiap lini kehidupan. Mereka paham betul bagaimana memanfaatkan akses. Mengaktifkan relasi elit untuk bersama-sama menari dalam harmoni. Sementara masyarakat mayoritas, harus puas dengan ampas.

Padahal tahun 2003, Indonesia pernah mencatatkan diri sebagai pengekspor lobster terbesar ketiga setelah Kanada dan Amerika. Namun sekarang, kita hanya menjadi pemain belakang atas digdayanya lobster Vietnam di pentas dunia. Pemburu rente terlibat aktif dibalik sengkarut benih lobster.

Kupikir benang kusut ini juga turut didorong oleh periodesasi pemerintahan yang singkat. Sehingga orientasi pencapaian dalam bentuk nominal masih jadi pilihan. Ukuran yang paling gampang dibaca dan terlihat fantastis.

Peduli setan punahnya spesies, terancamnya biodiversitas, kerusakan alam atau riset pengembangan yang memakan waktu. Bisa-bisa klaim prestasinya diambil oleh pemerintah selanjutnya. Yang penting terlihat gagah dalam angka. Gas teroos sampai kiamat!

Baca juga: Mengintip Sekolah Zaman Penjajah

0 komentar:

Post a Comment