Tuesday 24 December 2019

Selamat Hari Natal, Kawan

Bersama kawan-kawan PMKRI
Di luar sana, malam begitu cerah. Bulan dan bintang terlihat jelas tanpa penghalang. Aku baru saja balik dari warung. Membeli beberapa bahan pokok sebagai persedian. Tentu saja mie instant masuk dalam list yang tidak boleh dilupakan. Ya, ia sahabat karib bagi anak kost.

Saat mengendarai motor, aku melintasi sebuah keramaian yang berasal dari satu rumah. Kulihat orang-orang di sana sedang asik membangun keintiman satu sama lain. “Pastilah mereka sedang merayakan Natal,” pikirku. Tak jauh dari kerumunan, kulihat juga pohon dengan lampu dan hiasan warna-warni.

Dulu semasa SD, aku dan kawan-kawan termasuk orang yang bahagia menyambut Natal. Selain tanggal merah, Natal adalah momen untuk sanjo (berkunjung ke rumah yang merayakan) dan berburu makanan. Kebetulan tetanggaku banyak yang beragama Kristen. Kebanyakan mereka bersuku Batak yang berasal dari Berastagi. Sebagian lagi berasal dari Jawa.

Makanya secara pribadi, sedari kecil aku sudah familiar dengan sapaan orang-orang Medan. Seperti Ucok, Butet, Tulang, Opung dan lain-lain. Bahkan aku pun turut memanggil mereka dengan sapaan demikian. Benar lah apa yang disampaikan oleh komarudin Hidayat, manusia adalah anak dari lingkungannya. Sikap dan ucap adalah hasil sintesis realitas keseharian.

Baca juga: Membaca Beberapa Buah Pemikiran Komarudin Hidayat
Membayangkan Natal, aku jadi teringat momen Hari Raya Idul Fitri. Segenap umat islam di seluruh penjuru dunia merayakannya dengan gegap gempita. Bahkan arus mudik seperti lesakan air yang jebol dari bendungan. Meluber kemana-mana. Memadati jalanan hingga pelosok daerah. Tak lain untuk manautkan kembali simpul silaturrahmi dengan keluarga yang sudah lama tak bertemu.

Kupikir tak ada bedanya dengan Hari Raya Natal bagi umat Kristiani, momen sekali setahun yang musti mereka rayakan. Waktu yang baik untuk merajut kembali ikatan kekerabatan di antara mereka. Memperharui lagi semangat kebersamaan yang boleh jadi, sedikit luntur ditimpa berbagai runititas sepanjang tahun.

Namun di saat bersamaan, seperti yang sudah-sudah, netijen kembali tenggelam dalam perdebatan yang muncul secara musiman. Perihal boleh dan tidak bolehnya mengucapkan “Selamat Natal”. Bahkan hampir semua momen yang dibakukan dalam kalender, nyaris jadi alarm kegaduhan sepanjang tahun. Keributan secara etafet yang saling menyambut dari momen ke momen.

Baru kemarin ribut masalah Hari Ibu, lanjut Natal, disambung perayaan Tahun Baru, Hari Valentine, dan sederet hari-hari besar lainnya. Bising sekali. Terkait Natal, aku memilih untuk tidak larut di dalam perdebatannya.

Ada banyak ulama yang membolehkan. Ada juga yang mengharamkan. Perkara Furuiyah. Keduanya sama-sama dikeluarkan oleh ulama yang punya kapasitas dan keilmuan yang mumpuni. Silahkan pilih salah satunya sesuai kenyamanan masing-masing. Simpel saja.

Lain lagi seorang kawan, ia simpan baik-baik tiap referensi atas pilihan sikapnya untuk digunakan di tahun-tahun mendatang. “Biar tinggal copas aja kalo ada yang mempertanyakannya lagi,” selorohnya.

Silang pendapat tersebut makin ramai paska memasuki era internet. Kemajuan teknogi turut mempercepat lalu lintas informasi antar daerah. Menyuburkan budaya berkomentar dan menyanggah.

Sekalipun jauh di pelosok desa, asalkan ada internet, seseorang bisa mengakses beragam informasi. Akibatnya mereka yang tidak betul-betul menyelam dalam satu konteks kejadian, bisa turut tersengat aliran keributan dari satu peristiwa yang bisa jadi, tidak melibatkan mereka di dalamnya.

Beda halnya, mereka yang punya pengalaman empirik terhadap perbedaan, biasanya cenderung lentur dalam bersikap. Paham cara menerjemahkan sikap toleransi. Betul ucapan seorang kawan, kebijaksanaan seseorang dalam menyikapi perbedaan tidak lahir dari dari meja-meja diskusi. Atau petuah para kiai. Ia merupakan anak dari pengalaman.

Terkait ucapan selamat Natal misalnya. Seseorang yang dari kecil sampai besar, hidup dalam masyarakat homogen tanpa persingungan sosial yang kompleks, cenderung ‘kagetan’ menyaksikan perbedaan. Enteng saja baginya untuk membelah fatwa menjadi haram dan tidak haram. Karena tak banyak jahitan sosial yang bakal mengikat personalnya.

Terlepas dari semua hal di atas, tentunya banyak juga pihak yang kecipratan berkah perayaan Natal tahun ini. Tanggal 25 Desember jatuh pada hari Rabu. Libur akhir pekan, plus hari terjepit nasional digabung dengan libur Natal. Bagi dunia kerja, ini salah satu libur panjang yang bisa dirasakan. Bahkan suasananya sudah terasa sejak Jumat sore. Beranda sosial media sudah dipadati oleh lalu lalang foto-foto liburan.

Natal sendiri bagiku salah satu pengingat untuk terus merawat persahabatan. Boleh jadi, karena kesibukan dan aktivitas sehari-hari yang sudah tidak sejalan, membuat intensitas pertemuan dengan beberapa kawan menjadi berkurang. Khususnya sahabat Kristiani. Setidaknya tiap tanggal 25 Desember, ada alarm yang menghentak kesadaran untuk merajut kembali komunikasi.

Selamat Hari Raya Natal & Tahun Baru, kawan. Semoga kedamaian dan kasih sayang menjadi penerang untuk bumi kita...

Baca juga: Bumi Manusia, Ajakan Refleksi Berjamah


0 komentar:

Post a Comment