Bersama Gol A Gong, Pengarang Balada si Roy |
Pria asal Serang ini terlihat energik walaupun sudah berusia lebih dari setengah abad. Ada 126 karya buku yang sudah dia telurkan. Jika dirunut, berarti sejak lahir mas Gong telah melahirkan rata-rata 2 sampai 3 buku setiap tahunnya. Wow!
Gol A Gong juga menceritakan perjalanan kepenulisannya. "Nakal itu wajar, tapi harus disalurkan dengan benar," ungkapnya. Semasa sekolah, sosok Gong termasuk pelajar badung. Sering bolos, namun ajaibnya, dia bisa mempertanggung jawabkan dengan tetap menggenggam peringkat di kelas. Kenakalan ia jadikan sebagai proses kreatif untuk menghasilkan banyak prestasi.
Ada dua pesan dari ayahnya yang menjadi pelecut dirinya agar terus berkarya. "Membaca dan berolahraga." Inilah nasihat yang membuatnya begitu produktif. Tidak terhitung prestasinya di bidang olahraga, bahkan sempat dinobatkan sebagai juara Bulu Tangkis secara berturut-turut se-Asia Pasifik pada masanya.
Sebagai penggiat literasi, dia juga telah dianugerahi beragam penghargaan. Diantaranya Tokoh Literasi Nasional dan Tokoh Literasi Anti Korupsi. Aku belajar banyak tentang "How to be consistent and focus." Ini persoalan menjaga ritme dan berkawan dengan istiqomah.
Satu pesan yang sering ditekankan saat workshop kemarin, 'riset'. Aku tercekat, saat ia mengulas proses kreatifnya melahirkan satu karya. Ada satu novel yang dia tulis, perihal rekam jejak komunisme di Banten, disusunnya setelah membaca 40 buku babon untuk referensi. "Menulis itu bukan aktivitas melamun, menulis adalah kerja intelektual. Kata dalam tulisan akan mengalir seperti air bah jika kepala kita sudah terisi penuh," ungkapnya.
Dia juga kisahkan saat membuat serial novel Balada si Roy. Risetnya dilakukan selama enam tahun. Mempelajari kehidupan, mewawancarai banyak orang dan melakukan perjalanan kesana kemari untuk membangun karakter Roy.
Tak kurang dari 500 pertanyaan yang dimunculkan untuk menghidupkan sosok Roy dalam tulisan. Hasilnya, karakter Roy sangat digandrungi anak muda era 90-an. Ia mampu melukis realitas yang dekat dengan keseharian. Bahkan banyak orangtua yang melayangkan surat ke penerbit karena resah anaknya mengidolakan Roy. Kok bisa?
*Tenang, silahkan temukan jawabannya dengan menonton langsung filmnya. Sebentar lagi diangkat ke layar lebar...
Aku tertarik dengan ceritanya saat membuat buku berjudul Air Mata Kopi. Buku ini lahir dari keresahan setelah menyaksikan ekspansi ekonomi liberal di tanah air. Kekesalan yang mengkristal dalam kata dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran. Epik!
Terakhir, berkat Gol A Gong aku makin paham jika penulis ternama sekalipun masih disiplin dengan outline. Harus tertata. Tidak ada tulisan yg lahir dari proses melamun.
Dulu aku punya anggapan jika tulisan yang sudah dilempar ke publik, bukan lagi milik tuannya. Ia akan dipahami secara bebas oleh para pembaca. Lebih-lebih jika diksi yang disebar berasal dari orang ternama, perjalanan narasinya akan sulit dikejar. Rutenya bakal menembus banyak kepala.
Makanya, makin tinggi tingkat sosial seseorang makin berhati-hatilah mereka melepas kata. Sehingga para penulis cenderung meletakkan diri pada dua opsi, membiarkan kalimatnya di pasar bebas para pembaca, atau hemat berkata - kata.
Namun saat mengikuti bengkel menulis, ada satu pernyataan yang disampaikan Mas Gong terkait ikatan antara seorang penulis dan karyanya. Karya seorang penulis, serupa dengan kelahiran seorang bayi. Ia harus didampingi agar tidak terjebak dalam ruang bebas tafsiran pembaca.
Penulis harus mengasuh tulisannya. Mereka harus mengabdi untuk pembacanya. Jangan sampai disalahartikan oleh khalayak. Harus ada pengawasan dari sang penulis selaku orangtua.
Makanya sebuah buku kerap juga disebut sebagai anak intelektual seorang penulis. Ia hadir dari aktivitas pembuahan lewat proses berpikir berbulan-bulan. Ia diikuti oleh muntah, mual dan segala penderitaan menjelang kelahirannya. Angkat topi untuk mas Gong!
(Bogor, 29 September 2019)
Baca juga: Berguru pada Yusran Darmawan, Blogger Tampan Asal Buton
Apik
ReplyDelete