Monday 24 June 2019

Hilangnya Tradisi Bertani (Terkikisnya Guyub, Perkasanya Laba)

Getah Karet Siap Hasil Seminggu
Tradisi saling membantu dan corak kekeluargaan semakin tergerus. Tergerus dengan motif ekonomi, mencari laba alias profit. Mungkin itu yang ingin disampaikan oleh Joni Iskandar dalam tulisannya. Tulisan ini diangkat dari Caption Instagram-nya, menggambarkan keresahan kondisi sosial budaya di kampungnya, di Kuang Dalam, Sumatera Selatan (5 jam dari Palembang).

Bertani berarti pekerjaan bersama-sama, dengan mengandalkan alur sosial ekonomi keluarga (khususnya keluarga besar) maupun dengan orang lain baik melalui bagi hasil maupun upah. Tujuan utamanya adalah pemenuhan kebutuhan dasar, khususnya untuk makan. Bila ada kelebihan padi, bisa ia tukarkan dengan barang lain yang dibuat oleh orang lain. Barter masih kental, uang hanya sekadarnya. Itulah awal mulanya.

Asas gotong royong adalah yang utama, karena bekerja di lahan untuk menghasilkan tanaman tertentu (khususnya pangan) memerlukan tenaga manusia yang banyak. Inilah ‘efisiensi ekonomi keluarga’. Tak hanya berbicara masalah ekonomi, bekerja bertani mengandung nilai sakral, mengharap rida Tuhan agar kerja taninya tidak hanya panen, juga mempererat rasa kekeluargaan dan menjaga harmoni. Gemah ripah loh jinawi.

Pergeseran dan meresapnya ekonomi uang (dalam jangka panjang) telah menggeser pola ekonomi keluarga (guyub) pada fase transisi. Inilah yang disebut fase ganda, perang antara dua sistem ekonomi yang ditelurkan Boeke. Terlepas dari perdebatan yang ia ambil (khususnya bias kolonial), faktanya memang terjadi di lapangan.

Tulisan ini memuat semakin terkikisnya rasa sosial masyarakat desa berdasar kebersamaan, tergeser sistem mencari laba. Perkebunan tanaman industri lebih dilirik. Potensi komoditas yang mengundang banyak keuntungan uang. Apa yang tersisa dalam masyarakat desa? Hanya kenangan dan semakin terfragmennya manusia-manusia desa. Mereka yang tak sanggup, mereka lapar, bahkan terlempar menjadi manusia (terpaksa) ter-kota-kan; nasib entahlah, yang penting bisa mendapat sesuap nasi.

***

Tuntutan dunia yang bergerak makin cepat, secara tak langsung mempengaruhi pola hidup manusia. Kita dibuat seakan berkejar kejaran dengan uang. Segala sesuatu yang tidak menguntungkan dalam waktu singkat, akan dengan cepat ditinggalkan. Kalkulasi untung dan rugi ditimbang dengan efisiensi waktu. Manusia akan mengalir pada pilihan paling praktis.

Aku benar benar terperangah, saat mendengar sanak saudara yang lebih sepuh bertutur tentang hilangnya beberapa adat di dusunku. Semuanya bermula dari keinginan untuk hidup sejahtera. Beralihnya mata pencaharian masyarakat dari bertani ke berkebun karena pertimbangan untung yang bakal didapat.

Baiklah, mungkin kumulai cerita ini dari tahun 90-an. Saat itu, masyarakat di dusunku masih banyak berladang padi. Sebetulnya, tidak murni berladang, tapi hanya sekedar sambilan sembari menunggu pohon karet bisa disadap. Kurang kebih tujuh tahun. Masa penantian yang cukup lama, membuat masyarakat memanfaatkan sela sela pohon karet dengan menanam sayuran dan padi.

Dalam budaya berladang biasanya didahului dengan proses nugal, yakni menanam padi dengan mengundang sanak famili. Proses nugal juga menjadi ajang bagi sang anak untuk mengundang kawan kawannya sekaligus pujaan hatinya. Disinilah orangtua akan menilai kerajinan calon mantunya. Sebaliknya, proses nugal akan menjadi wahana untuk mengambil hati calon mertua.

Menjelang padi menguning, dilanjutkan dengan ngetam. Memotong padi berjamaah. Sama seperti proses nugal. Tuan rumah akan kembali mengundang sanak famili untuk meminta tolong. Lagi lagi kesempatan sang anak untuk mengenalkan calon pasangan hidupnya. Biasanya kedua proses ini, nugal dan ngetam, akan dilakukan secara bergilir secara gotong royong dalam satu keluarga besar.

Musim panen padi yang serentak, membuat satu dusun panen raya. Diadakanlah sedekah pedusunan. Tetua di dusunku menyebutnya dengan ngemping. Orang satu kampung membuat lemang, makanan khas dari padi pulut. Dibuat dalam bambu dengan dibakar. Lalu membawanya ramai ramai ke balai desa dan dimakan bersama sama.

Ada satu adat unik pada prosesi pembuatan lemang. Hukum tak tertulis yang bakal membuat perempuan di dusunku tidak akan terlalu jaim pada lelaki. Rukun adatnya, lemang tersebut biasanya dibuat langsung oleh pasangan mereka bila tak boleh disebut pacar. Mulai dari mengambil bambunya, menanaknya dan membawanya ke balai desa.

Jika tak ada pasangan yang bersedia melakukannya, maka pembuatan lemang akan dikerjakan oleh bapak sang gadis. Tentu ini akan membuatnya malu keluar rumah sampai perayaan sedekah pedusunan selesai.

Jadi, antara laki laki dan perempuan, masing masing ada ruang sosial yang harus mereka bangun sejak dini sebelum membangun rumah tangga. Ada semacam sesi penilaian bagi keluarga sekaligus ajang pembuktian bagi sang anak bahwa dia punya pergaulan yang cukup bagus. Setiap pihak harus saling menjaga hubungan baik tanpa merendahkan sebelah pihak.

Menjelang tahun 2000-an, zaman berubah. Lambat laun budaya berladang padi mulai ditinggalkan. Peralihan dari berladang ke budaya berkebun benar benar menghilangkan tradisi nugal, ngetam dan sedekah pedusunan tanpa jejak. Waktu dalam sehari terasa sangat berharga untuk sekedar melakukan semua tradisi di atas, sekaligus menandai berkurangnya ruang sosial dalam bermasyarakat.

Hari ini, kerja kerja keseharian di dusunku cenderung dimaterikan. Semua dihitung dengan nominal per-jamnya. Mengerus budaya guyub yang lebih terlihat seperti membuang-buang waktu. Apakah memang sudah waktunya ucapan “selamat tinggal” itu dilontarkan? (Terbit di www.sentrifugal.com)

Baca juga : Gempuran Modernitas

0 komentar:

Post a Comment